Selamat Datang di Kawasan Penyair Kota Balahindang Terima Kasih Kunjungan Anda

Sabtu, 30 Juli 2011

BRAM LESMANA



Nama lain Drs. Syibrammulsi, dalam berkesenian. Sarjana manajemen Keuangan STIESIA Surabaya ini lahir di Pantai Hambawang, 10 Januari 1967. Lebih suka disebut teaterawan karena sejak 1981-1985 dibina Oleh Budayawan H. Adjim Arijadi di Yayasan Sanggar Budaya KalimantanSelatan sebagai seniman Teater.
Baginya Sanggar Budaya Adalah Rumah Bersalin kelahirannya sebagai seniman. Tahun 1985 ke-Surabaya dan bergabung di Teater Lecture sampai 1987. Tahun 1987-1991 bergabung di Teater 25 Taman Budaya Cak Durasim. Di Surabaya kemampuan teaternya terasah melalui beberapa pementasan diantaranya : “Perampok” Karya WS Rendra, “Trilogi Oedipus” karya Sopholes, “Ghost Train”, “Kapai-kapai” karya Arifin C. Noor, “Titik-titik Hitam” karya Nasyah Jamin & “Lautan Jilbab” karya Emha Ainun Najib. Selama di pulau jawa Rajin mengikuti workshop teater pada tokoh-tokoh teater seperti Tatik maliyati, Wahyu Sihombing (Alm), Arifin C. Noor, WS. Rendra, Putu Wijaya, djaduk P dll
Belajar menulis secara otodidak. Tahun 1994 mendirikan sanggar Teater TGBA di Taman Budaya Palangka Raya bersama Dapy Fajar Rahardjo. Tahun 1995 membidani dapur seni Dayak’s Productions bersama Rahmadi G. Lentam, SH ( advokat dan penulis Cerpen/Novel ). Menulis dan menyutradarai drama radio “Noktah Tanah Sahara” di RRI Palangkaraya bersama Supardal JS. mementaskan Naskah “Narcicis” karya Rahmadi G. Lentam dan Naskah “Wajah-wajah” di GPU Tambun Bungai bersama dapur seni Dayak’s productions. 1996-2004 menetap di Muara Teweh (Kalteng) dan mempelajari budaya dayak sepanjang pesisir Hulu Barito serta membuat catatan kecil sejarah Perang banjar dan mengumpul cerita rakyat/legenda sepanjang Hulu Sungai Barito. Menyempatkan membuat beberapa naskah drama perjuangan yaitu “Tragedi kalang Barah” (2000), Panglima Batur (2001) “Ounrust” (2002), “Sungai Darah/Montallat” (2004). Tahun 2005 pindah kerantau dan mendirikan sanggar seni BALAHINDANG. Sejak berdiri pada 15 januari 2007 sanggar Seni Balahindang Binaannya ini telah melahirkan seniman-seniman muda berprestasi ditingkat nasional dan propinsi khususnya bidang teater dan sastra ( Puisi, Madihin dan bercerita bhs banjar/bhs Indonesia ) tercatat ada 23 prestasi sebagai jawara terkumpul sejak berdiri sampai akhir tahun 2009. Selama di Rantau lahir beberapa naskah drama karyanya diantaranya “Panganten Pulau kadap” (2005), Monolog “Arwah” (2006) “Orang pinggiran” (2007), “Panembahan Batu Habang/Mahkota Kain Langgudi” (2008), “Palui Bulik Madam” (2009). Tahun 2008 Bersama seniornya di Sanggar Budaya, Yadi Muryadi membidani lahirnya Teater KITA Banjarmasin di Taman Budaya Banjarmasin dan juga Membina Sanggar Seni SWARGALIAN di Landasan Ulin Banjarbaru. Peraih Penghargaan Sutradara terbaik Festival Teater Perjuangan se-kalsel Tahun 2007 di-Kandangan dan Sutradara Terbaik Festival Teater Pelajar Se-kalsel 2008 di-Banjarmasin ini Sering dipercaya sebagai pemateri pada berbagai workshop teater di kalsel dan Kalteng. Saat ini juga dipercaya sebagai Sekretaris Umum Komunitas Sastrawan Indonesia Cabang Tapin.
Ber-alamat di : Jl. Brigjen Hasan Basry Km. 2 No.29 RT 8 Dulang Rantau dan di- Jl. Golf Swargaloka Komplek Wengga Jaya III Blok B-34 landasan Ulin Banjarbaru.
Contak Person : 0811 5011 143 atau 0878 1516 2713.

Puisi Tiga Satwa

Se-ekor laba-laba bunting meniti serat
lamban menahan beban sarat
putus, tiada keluh kembali merekat
wariskan sarang tanpa hati berat

Se-ekor ulat.memasuki secarik daun labu
lelap semedi, dalam kepompong berdebu
bila sayap sudah berwarna ungu
diukirnya langit dengan tarian ;
Kupu-kupu !

Se-ekor lebah mengelana menyusur taman hari,
memilah putik sari
dalam kepak, kecintaan Tuhan dia cari
karena di-sadari,
Tuhan-nya cinta pada yang bersih diri

Di-belantara zaman jumawa
Kumasuki madrasah tiga satwa

belajar makna sabar pada laba-laba
Mengaji hakekat pada tarian kupu-kupu
Mengkaji kesucian pada dengung zikir lebah
di sajadah waktu dalam masjid jiwaku

di-madrasah hari kusaksikan ;
laba-laba,
kupu-kupu,
dan lebah
tak pernah mati !
tak akan pernah mati !
Subhanallah !


( ruang VVIP no. 29 RSU Raza Mtp, 26.02.2011 )


LELAKI PENYELAM SEPI

Berjalan gontai
Kurus dengan wajah pasi
menjilat asin peluhnya sendiri
lelah di-bawah bayang matahari yang tak bosan meludahi
Adalah sosok bernama ;
“ lelaki penyelam sepi”.

Melangkah dilorong keyatim piatuan diri
Enggan dibodohi rembulan yang selalu mengintip
tiap hela nafasnya
Adalah juga ;
“lelaki penyelam sepi”

Saksikan saja sang waktu menikamnya
Kedinginan memeluk malam yang menyimpan sunyi
dalam selimut kabut
untuk dirinya sendiri
tanpa erang
tanpa keluh.

Menata rambut kusut dengan jemari
Jaket tua lusuh
Blue jeans butut
Sepatu tua
Adalah 3 sahabat renta
Serenta jejaknya yang mulai rapuh digilas nasib
Raut senyumpun hilang dicuri para penajaja dusta
Menjadi telaga hikmah.

Lelaki penyelam sepi
Ditendang hidup
Ditampar usia
Dijambak kesunyian
Mencoba menorah diri dengan belati doa-doa
mengucur darah air wudhunya
menghampar jaket jadi sajadah
rambut kusut jadi peci ibadah
mengangkat takbir
tinggalkan keyatim piatuan
menyisihkan penjaja dusta
lalu
membunuh diri
disamudera keabadian cinta
Tuhan- nya.


( Martapura, 10.03.2011 )


Sajak perpisahan (1)

Maafkan, bila kuberanjak sendiri menuju perahu
saat langit gelap, laut bergelombang
panggilan camar resah
harus kupenuhi

Jangan ikat kemudi dengan temali serapah
biarkan aku pergi meninggal arena perdebatan tak berujung
diantara luka-luka hari kemaren yang terus membusuk

Jangan teteskan hujan kesedihan di-riak laut
Pandang saja bagai siluet
entah dari sudut mana kau lukiskan
aku tetap akan mengayuh
di bongkah-bongkah gelombang
di-arus pasang dan angin musim perpisahan

jangan coba lukis sketsa kesalahanku dimeja perjamuan
karena pagi akan lewat dan membawanya pada pijar mentari
jangan ajari matahari dan angin menghisap embun
lebih baik kau hampar sajadah
letakan namaku dalam keranda
lalu antar ke-batas kaki langit.

semua sudah cukup !
semua harus berakhir !
jangan kau nyalakan ladang-ladang api
di kemarau panjang dermaga malam ini
( Rantau, 15.05.2011 )


Panggillah, aku pasti datang !

Panggillah !
Aku pasti hadir dalam kegelisahanmu, ibu !
entah lewat rangas batang ilalang
entah lewat panas lelatu
atau menyusup di-sisa arus sungai labuan amas selatan
yang lelah disumbat peradaban tahun kemarau-mu

Panggillah !
Aku pasti datang, ibu !
tapi biarkan aku hanya di-halaman
sepasang sepatu tuaku enggan di-lepas
temalinya sudah renta dan hampir putus
serenta anakmu mengelana meniti hidup
di beranda orang lain.

Panggillah !
Aku pasti datang, ibu !
Pada ladang rindumu,
semai masa lalu masih membuahkan bulir
pada darah dan jiwaku
anak kandungmu !

Rantau, 08 maret 2011
( Sajak rindu untuk Tanah Banuaku- Murakata )


Sajak perpisahan (2)

Sudahlah… !
Aku ingin menjalani hidup dengan kenyataan
Bukan mimpi dan angan-angan.

Sudahlah…. !
Dunia kita berbeda
Jangan tikam belati mu
Pada ladang rinduku
Semai masa lalu masih membuahkan bulir
Jangan tambah resahku ditugalan baru

Biarkan dangau sepiku menikmati lagu-lagu angin
Menyelam dikesendirian yang riuh
Bersama se-laut imaji tudung langit.

Sudahlah… !
Biarkan aku “sendiri menyelam sepi”


( Rantau, 28.03.2011 )


Sajak perpisahan (3)

Maafkan, jika aku mulai berpikir untuk menepikan langkah
Perjalanan ini sangat menguras airmata
juga duka baru ditubuhku yang sudah penuh luka
Aku kuatir tak mampu mencapai dermaga
Dan hanya berlabuh dipulau karang kepedihan
Sebab tak pernah jua bisa kurasakan
Harum napasmu dilelah jejak-ku
Dalam pencarian menyelam isi hatimu

Maafkan, jika malam-malam-mu nanti
Tak bisa lagi kutemani
Keresahan ini telah
membunuh hasratku untuk melanjut kayuh
disamudera napas-napas ku.


PERBURUAN MALAM

Saat sepiku menggelepar disayap-sayap malam
Sebilah panahmu menghunjam lelehkan sunyi jadi gemuruh.
Meriuhkan padang perburuan !

Penantian disaat lelah dan lapar ini
kau tawarkan dengan pembebasan penjara sunyi
menebas rantai aliran darahku, beku !
larut mencair dalam didih Tanya,
siapa kamu ?

lorong malam semakin sempit bila semburat renyah sapamu berlagu
bulan kecewa digeser percepatan waktu yg kita beli
bintang melempar Tanya !
siapa kamu ?
kujawab “ kekasih ! ”
ada apa ini ?
kujawab “ cinta “
lalu kutulis puisi dikaki langit
kusajak-kan pada semesta
tentang hatiku yang di-bedah bidadari pemburu
dalam rangkulan resahnya malam itu, tanpa sisa !

dan padang perburuanpun kembali sepi
ketika lelaki penyelam sepi dijagal pemburunya
di-pembantaian sepi.

Rantau, 17 maret 2011


SAJAK NASEHAT.

“Nak…, dimana kita meletakan telapak kaki ?
Karena jalan ke-kerajaan sorga lewat dada orang-orang shaleh !“
Kau ikut menyaksikan tarian jerami diatas ladang-ladang api negeri ini
Meramu hitam jadi abu-abu
Dan putih sendiri cuma jadi slogan diketiak pengkhianat negeri,
Hingga untuk sujudpun
Sajadah berduri
Jadi jangan asal kenal merangkul jadi kawan
Siapa di-depanmu ?
Di-sampingmu ?
Itu masih terlalu jauh !
Yang nyata dekat
Adalah DIA !

Rumah rayap kita sudah berisik !
Masing-masing ruang dibumi hamper habis !
Yang perlu ditegaskan Cuma kata :
ada !
ada !
ada !
ada !
…… dan ada !
Ada, bahwa ALLAH ada melihat kita !


09 Maret 2011
( kompilasi puisi ayah Ibrahim Amandit di-Batola & anak rahim sastranya Bram lesmana )

Tidak ada komentar: