Selamat Datang di Kawasan Penyair Kota Balahindang Terima Kasih Kunjungan Anda

Sabtu, 30 Juli 2011

BRAM LESMANA



Nama lain Drs. Syibrammulsi, dalam berkesenian. Sarjana manajemen Keuangan STIESIA Surabaya ini lahir di Pantai Hambawang, 10 Januari 1967. Lebih suka disebut teaterawan karena sejak 1981-1985 dibina Oleh Budayawan H. Adjim Arijadi di Yayasan Sanggar Budaya KalimantanSelatan sebagai seniman Teater.
Baginya Sanggar Budaya Adalah Rumah Bersalin kelahirannya sebagai seniman. Tahun 1985 ke-Surabaya dan bergabung di Teater Lecture sampai 1987. Tahun 1987-1991 bergabung di Teater 25 Taman Budaya Cak Durasim. Di Surabaya kemampuan teaternya terasah melalui beberapa pementasan diantaranya : “Perampok” Karya WS Rendra, “Trilogi Oedipus” karya Sopholes, “Ghost Train”, “Kapai-kapai” karya Arifin C. Noor, “Titik-titik Hitam” karya Nasyah Jamin & “Lautan Jilbab” karya Emha Ainun Najib. Selama di pulau jawa Rajin mengikuti workshop teater pada tokoh-tokoh teater seperti Tatik maliyati, Wahyu Sihombing (Alm), Arifin C. Noor, WS. Rendra, Putu Wijaya, djaduk P dll
Belajar menulis secara otodidak. Tahun 1994 mendirikan sanggar Teater TGBA di Taman Budaya Palangka Raya bersama Dapy Fajar Rahardjo. Tahun 1995 membidani dapur seni Dayak’s Productions bersama Rahmadi G. Lentam, SH ( advokat dan penulis Cerpen/Novel ). Menulis dan menyutradarai drama radio “Noktah Tanah Sahara” di RRI Palangkaraya bersama Supardal JS. mementaskan Naskah “Narcicis” karya Rahmadi G. Lentam dan Naskah “Wajah-wajah” di GPU Tambun Bungai bersama dapur seni Dayak’s productions. 1996-2004 menetap di Muara Teweh (Kalteng) dan mempelajari budaya dayak sepanjang pesisir Hulu Barito serta membuat catatan kecil sejarah Perang banjar dan mengumpul cerita rakyat/legenda sepanjang Hulu Sungai Barito. Menyempatkan membuat beberapa naskah drama perjuangan yaitu “Tragedi kalang Barah” (2000), Panglima Batur (2001) “Ounrust” (2002), “Sungai Darah/Montallat” (2004). Tahun 2005 pindah kerantau dan mendirikan sanggar seni BALAHINDANG. Sejak berdiri pada 15 januari 2007 sanggar Seni Balahindang Binaannya ini telah melahirkan seniman-seniman muda berprestasi ditingkat nasional dan propinsi khususnya bidang teater dan sastra ( Puisi, Madihin dan bercerita bhs banjar/bhs Indonesia ) tercatat ada 23 prestasi sebagai jawara terkumpul sejak berdiri sampai akhir tahun 2009. Selama di Rantau lahir beberapa naskah drama karyanya diantaranya “Panganten Pulau kadap” (2005), Monolog “Arwah” (2006) “Orang pinggiran” (2007), “Panembahan Batu Habang/Mahkota Kain Langgudi” (2008), “Palui Bulik Madam” (2009). Tahun 2008 Bersama seniornya di Sanggar Budaya, Yadi Muryadi membidani lahirnya Teater KITA Banjarmasin di Taman Budaya Banjarmasin dan juga Membina Sanggar Seni SWARGALIAN di Landasan Ulin Banjarbaru. Peraih Penghargaan Sutradara terbaik Festival Teater Perjuangan se-kalsel Tahun 2007 di-Kandangan dan Sutradara Terbaik Festival Teater Pelajar Se-kalsel 2008 di-Banjarmasin ini Sering dipercaya sebagai pemateri pada berbagai workshop teater di kalsel dan Kalteng. Saat ini juga dipercaya sebagai Sekretaris Umum Komunitas Sastrawan Indonesia Cabang Tapin.
Ber-alamat di : Jl. Brigjen Hasan Basry Km. 2 No.29 RT 8 Dulang Rantau dan di- Jl. Golf Swargaloka Komplek Wengga Jaya III Blok B-34 landasan Ulin Banjarbaru.
Contak Person : 0811 5011 143 atau 0878 1516 2713.

Puisi Tiga Satwa

Se-ekor laba-laba bunting meniti serat
lamban menahan beban sarat
putus, tiada keluh kembali merekat
wariskan sarang tanpa hati berat

Se-ekor ulat.memasuki secarik daun labu
lelap semedi, dalam kepompong berdebu
bila sayap sudah berwarna ungu
diukirnya langit dengan tarian ;
Kupu-kupu !

Se-ekor lebah mengelana menyusur taman hari,
memilah putik sari
dalam kepak, kecintaan Tuhan dia cari
karena di-sadari,
Tuhan-nya cinta pada yang bersih diri

Di-belantara zaman jumawa
Kumasuki madrasah tiga satwa

belajar makna sabar pada laba-laba
Mengaji hakekat pada tarian kupu-kupu
Mengkaji kesucian pada dengung zikir lebah
di sajadah waktu dalam masjid jiwaku

di-madrasah hari kusaksikan ;
laba-laba,
kupu-kupu,
dan lebah
tak pernah mati !
tak akan pernah mati !
Subhanallah !


( ruang VVIP no. 29 RSU Raza Mtp, 26.02.2011 )


LELAKI PENYELAM SEPI

Berjalan gontai
Kurus dengan wajah pasi
menjilat asin peluhnya sendiri
lelah di-bawah bayang matahari yang tak bosan meludahi
Adalah sosok bernama ;
“ lelaki penyelam sepi”.

Melangkah dilorong keyatim piatuan diri
Enggan dibodohi rembulan yang selalu mengintip
tiap hela nafasnya
Adalah juga ;
“lelaki penyelam sepi”

Saksikan saja sang waktu menikamnya
Kedinginan memeluk malam yang menyimpan sunyi
dalam selimut kabut
untuk dirinya sendiri
tanpa erang
tanpa keluh.

Menata rambut kusut dengan jemari
Jaket tua lusuh
Blue jeans butut
Sepatu tua
Adalah 3 sahabat renta
Serenta jejaknya yang mulai rapuh digilas nasib
Raut senyumpun hilang dicuri para penajaja dusta
Menjadi telaga hikmah.

Lelaki penyelam sepi
Ditendang hidup
Ditampar usia
Dijambak kesunyian
Mencoba menorah diri dengan belati doa-doa
mengucur darah air wudhunya
menghampar jaket jadi sajadah
rambut kusut jadi peci ibadah
mengangkat takbir
tinggalkan keyatim piatuan
menyisihkan penjaja dusta
lalu
membunuh diri
disamudera keabadian cinta
Tuhan- nya.


( Martapura, 10.03.2011 )


Sajak perpisahan (1)

Maafkan, bila kuberanjak sendiri menuju perahu
saat langit gelap, laut bergelombang
panggilan camar resah
harus kupenuhi

Jangan ikat kemudi dengan temali serapah
biarkan aku pergi meninggal arena perdebatan tak berujung
diantara luka-luka hari kemaren yang terus membusuk

Jangan teteskan hujan kesedihan di-riak laut
Pandang saja bagai siluet
entah dari sudut mana kau lukiskan
aku tetap akan mengayuh
di bongkah-bongkah gelombang
di-arus pasang dan angin musim perpisahan

jangan coba lukis sketsa kesalahanku dimeja perjamuan
karena pagi akan lewat dan membawanya pada pijar mentari
jangan ajari matahari dan angin menghisap embun
lebih baik kau hampar sajadah
letakan namaku dalam keranda
lalu antar ke-batas kaki langit.

semua sudah cukup !
semua harus berakhir !
jangan kau nyalakan ladang-ladang api
di kemarau panjang dermaga malam ini
( Rantau, 15.05.2011 )


Panggillah, aku pasti datang !

Panggillah !
Aku pasti hadir dalam kegelisahanmu, ibu !
entah lewat rangas batang ilalang
entah lewat panas lelatu
atau menyusup di-sisa arus sungai labuan amas selatan
yang lelah disumbat peradaban tahun kemarau-mu

Panggillah !
Aku pasti datang, ibu !
tapi biarkan aku hanya di-halaman
sepasang sepatu tuaku enggan di-lepas
temalinya sudah renta dan hampir putus
serenta anakmu mengelana meniti hidup
di beranda orang lain.

Panggillah !
Aku pasti datang, ibu !
Pada ladang rindumu,
semai masa lalu masih membuahkan bulir
pada darah dan jiwaku
anak kandungmu !

Rantau, 08 maret 2011
( Sajak rindu untuk Tanah Banuaku- Murakata )


Sajak perpisahan (2)

Sudahlah… !
Aku ingin menjalani hidup dengan kenyataan
Bukan mimpi dan angan-angan.

Sudahlah…. !
Dunia kita berbeda
Jangan tikam belati mu
Pada ladang rinduku
Semai masa lalu masih membuahkan bulir
Jangan tambah resahku ditugalan baru

Biarkan dangau sepiku menikmati lagu-lagu angin
Menyelam dikesendirian yang riuh
Bersama se-laut imaji tudung langit.

Sudahlah… !
Biarkan aku “sendiri menyelam sepi”


( Rantau, 28.03.2011 )


Sajak perpisahan (3)

Maafkan, jika aku mulai berpikir untuk menepikan langkah
Perjalanan ini sangat menguras airmata
juga duka baru ditubuhku yang sudah penuh luka
Aku kuatir tak mampu mencapai dermaga
Dan hanya berlabuh dipulau karang kepedihan
Sebab tak pernah jua bisa kurasakan
Harum napasmu dilelah jejak-ku
Dalam pencarian menyelam isi hatimu

Maafkan, jika malam-malam-mu nanti
Tak bisa lagi kutemani
Keresahan ini telah
membunuh hasratku untuk melanjut kayuh
disamudera napas-napas ku.


PERBURUAN MALAM

Saat sepiku menggelepar disayap-sayap malam
Sebilah panahmu menghunjam lelehkan sunyi jadi gemuruh.
Meriuhkan padang perburuan !

Penantian disaat lelah dan lapar ini
kau tawarkan dengan pembebasan penjara sunyi
menebas rantai aliran darahku, beku !
larut mencair dalam didih Tanya,
siapa kamu ?

lorong malam semakin sempit bila semburat renyah sapamu berlagu
bulan kecewa digeser percepatan waktu yg kita beli
bintang melempar Tanya !
siapa kamu ?
kujawab “ kekasih ! ”
ada apa ini ?
kujawab “ cinta “
lalu kutulis puisi dikaki langit
kusajak-kan pada semesta
tentang hatiku yang di-bedah bidadari pemburu
dalam rangkulan resahnya malam itu, tanpa sisa !

dan padang perburuanpun kembali sepi
ketika lelaki penyelam sepi dijagal pemburunya
di-pembantaian sepi.

Rantau, 17 maret 2011


SAJAK NASEHAT.

“Nak…, dimana kita meletakan telapak kaki ?
Karena jalan ke-kerajaan sorga lewat dada orang-orang shaleh !“
Kau ikut menyaksikan tarian jerami diatas ladang-ladang api negeri ini
Meramu hitam jadi abu-abu
Dan putih sendiri cuma jadi slogan diketiak pengkhianat negeri,
Hingga untuk sujudpun
Sajadah berduri
Jadi jangan asal kenal merangkul jadi kawan
Siapa di-depanmu ?
Di-sampingmu ?
Itu masih terlalu jauh !
Yang nyata dekat
Adalah DIA !

Rumah rayap kita sudah berisik !
Masing-masing ruang dibumi hamper habis !
Yang perlu ditegaskan Cuma kata :
ada !
ada !
ada !
ada !
…… dan ada !
Ada, bahwa ALLAH ada melihat kita !


09 Maret 2011
( kompilasi puisi ayah Ibrahim Amandit di-Batola & anak rahim sastranya Bram lesmana )

AHMAZI HADERIYANI

H. Ahmazi Haderiyani ini adalah sarjana ( S.1) Fakultas Pertanian Universitas lambung mangkurat. Lahir di Marabahan 21 Juni 1962. Mengaku mulai mengenal dan rajin menulis Puisi sejak hatinya tersentuh oleh naluri Asmara ditahun 1985. Sejak itu mengalirlah imaji dalam bentuk tulisan puisi yang terhimpun disela map tua yang masih tersim
pan ditumpukan arsipnya. Naluri kepenyairannya semakin terasah sejak dia terjun kemasyarakat sebagai penyuluh Pertanian pada kantor KPSL Banjarbaru ditahun 1987 – 1989. Tahun 1990 bertugas di Bank Perkreditan Rakyat Tapin Selatan. Penyuka syair sufi dan suluk-suluk ini sedang belajar untuk menjadikan puisi sebagai wahana lain upaya pendekatan hubungannya dengan Sang pencipta. Ritus kata juga dituangkannya dalam bentuk warna diatas kanvas, karena beliau adalah salah seorang pelukis Tapin yang selalu menjadi juri lomba melukis. Beralamat di Jl. Jenderal Sudirman/By pass RT. 10 No. 39 Rantau.
Kontak person : 0819 3379 0361


Namamu Masih Kusimpan.

Pada mimpi segala mimpi kusimpan rapi namamu
Catatan senja telah menebal
menjadi sebuah buku tanpa judul
di pustaka kisi-kisi hati

Pada nafas kukirim rindu
Pada rindu kukirim mimpi
Pada mimpi kuprasasti namamu
Namun selalu saja luluh mengalir
Kembali menjadi rindu
Kemana Namamu ?

Namamu telah mengelana disemua aliran darahku
tak sempat kubaca
Karena sebuah sembilu memasung
maka diamlah di manapun dalam diriku
Agar kemanapun jejak melangkah
Kau selalu bersamaku
Hingga suatu musim
Kau utuh untuk disebut lagi

Banjarbaru, 1985.


Catatan Senja

Mengenang kisahmu tentang baratayudha
yang merajah ajaran filsof menjadi suluh malamku
menakhodai hidup.
Mencium sakral bau dupa nafasmu
memandu sujudku di altar mesjid-mesjid
tak bertiang tak bercungkup

Merasakan tangan rentamu saat kuantar ke gerbang keabadian,
seperti pesan perpisahan yang menyuruhku
merenungi hasudnya alam nasud

Menyaksikan datangmu di ambin tua, senja ini
Seperti memutar ulang masa-masa kecilku
saat bermain culuk damar dan meriam bambu yang kau olah
dari tebangan di galangan huma kita

kini, berjubah begawan kau titipkan catatan senja untukku
tersenyum dalam peluk keabadian dikereta lembayung saga
lalu berarak diantar arus sungai tapin
meninggalkan kasih sejati

Rantau, 10 September 2007
( Dedikasi Untuk Ayahnda Haderiyani Imuk dialam ke-abadian )


Aku merindukan wanitaku

Aku merindukan wanita penolak megah istana amalekites
dan enggan digiring tujuh sahaya berbusana sutera
dalam lilitan kalung manikam bermahkota tiara

Aku merindukan wanita penolak rayuan raja hyksos
karena setia pada cinta dan khaufnya kepada Sang Pencipta

Aku merindukan wanita dari golongan sahaya
yang rela ditinggal bersama bayinya diantara dua bukit sahara
berbekal guriba taqwa bermandi penat tujuh putaran jejak
antara shafa dan marwah….. namun tak berkeluh kesah

Aku merindukan wanita yang dengan cintanya
terkepak sayap malaikat mengundang kucur mata air telaga
dambaan umat dalam guriba sahara

Aku merindukan wanita ter-tarbiyah dimadrasah ikhlas
Untuk membasuh gundah keluhku dalam menatap
pelangi cinta ke-Esaan-MU

Aku merindukan dua jiwa wanitaku dalam satu raga
dialiran bejana hidup yang semakin rapuh menapak takdir
Karena akulah bapak kurban yang hijrah
Lalu membangun rumah-MU dari batu-batu kedengkian dan Fitnah
akulah Ibrahim yang ber-renkarnasi di-peradaban ini
sambil menenteng pedang basah darah Qibas ke-ihklasan
puteraku sendiri

Dalam sujud kuberdoa :
“ Rabbana Hablana min adjwadjina,waa zuriatina qurrata a’yunin wadj alna lil muttaqinna imama.

( Adaptasi tafsir QS Ibrahim : 37 )


Doa Seorang Pengutil

Dibilik birokrasi kusaksikan kasak-kusuk calon pengutil
Tersenyum melihat angka-angka dalam RKA
Padahal belum kering basah lidah mengucap janji Panca Prasetya
Air liur sudah meleleh disela senyum

Kurenungi ternyata benar !
Memang, siapa yang tak jadi pengutil dinegeri ini
Pejabat mengutil dari kursinya
Tukang kayu mengutil hutan – hutan
Penambang mengutil perut bumi
Nelayan mengutil terumbu dengan jaringnya
Guru-guru mengutil dengan diktatnya
Isteri-isteri mengutil dompet suami
Anak-ku mengutil nenen isteriku
Aku mengutil hak-hak diriku
dan…ahhh
Ternyata kita telah membudayakan
proyek kutil mengutil

para pengutil berkelana membentuk partai-partai
agar bisa kerjasama melakukan pengutilan
inikah yang disebut main kutil-kutilan ?
padahal tak ada yang mau punya kutil !

“ Wahai para pengutil, jangan kita mengutil sesama.
Mari kita bergotong royong mengutil Tuhan
Kita kutil Cinta dan kasih sayang-NYA
Kita kutil Keadilan dan Ridho Milik-Nya
Agar menjadi harta abadi dialam berikutnya”

Dilingkungan para pengutil aku berdo’a.
Doa tukang kutil yang kena kutil, tapi tidak berkutil.

Pulau Kutil, Januari 2010

HAJI UJANG

Nama lain dari H. NOOR HASAN ALI NORMAN S. Sos, Kabid Penataan Kebersihan dan Kamtib Dinas Pengelolaan Pasar kabupaten Tapin ini rajin menulis Puisi sejak masih jadi Guru sebelum akhirnya pindah ke jabatan struktural dijajaran Pemerintah kabupatenTapin.
Lahir di Cijulang ( Jawa Barat ) 09 Mei 1958. Menjadikan Puisi sebagai luapan bahasa bathin dan hobby namun malu untuk mempublikasikan karena merasa masih perlu banyak belajar dengan karya-karya orang lain yang lebih ekpresionis. Penyuka Karya Khalil Gibran dan Khoping Hoo ini juga membangun inspirasi dengan kegiatan yang jadi hobby beratnya yaitu “ Ma-unjun ”.
Termotivasi oleh mulai hidupnya kegiatan bersastra dengan terbentuknya Komunitas Sastrawan Indonesia Cabang Tapin membuatnya bertekat untuk lebih banyak lagi menulis dimasa-masa yang akan datang.
Mengharap tegur sapa dan kritikan dari para sastrawan lain atas karya yang sudah dibuat sangat dinantikannya.
Beralamat di Jl. Pelita No. 16 RT. 5 kelurahan Rangda malingkung Rantau. Kontak person : 0878 1616 7144.


Aku yang Terbuang

Aku yang terbuang
Dari orang terbuang
Bersatu dalam hayal
Di antara terali besi nusa kambangan

Aku yang terbuang
Memukau dalam sepi
Bayang-bayang kerlip diam
Berlalu tanpa kesan

Kau dan aku
Orang yang terbuang
Meniti dalam pijakan nasib
Orang buangan

Aku yang terbuang
Menguak dalam tabir hitam
Berontak mencaci kebebasan jiwa
Di laut lepas nusa kambangan

Aku yang terbuang
Kecil mencapai cita
Cuma bambu-bambu berserakan
Satu-satu berpegang pada nasib

Aku yang terbuang
Terjaga dalam kenyataan
Kebebasan sudah ada
Terhampar di depan mata
Pada pulau yang terbentang

Rantau, 6 April 1986


G u r u

cerah ber kabut pagi ini kipasi kayuh gerak-ku
mendinginkan genggaman pada sepeda tua reyot
ditanjakan-tanjakan tak mulus
disela-sela tebing
dicuram-curam lembah
menggoda goyang pinggulku
bersama nyanyian gunung

bermesraan dengan pagi
adalah nyanyian rutin perjalanan hidup
dalam pengabdian memahat sejarah hari esok
langkah-langkah ku yang kecil
adalah sesuatu yang di-gugu dan ditiru
desa terasing dan terpencil
adalah sepiring lauk yang sudah terhidang
tanpa keluh
tanda kesah
apalagi gelisah

keluh itu energiku
kesah itu hanya mimpiku
gelisah itu keprihatinanku
memupuk tunas-tunas bangsa negeri ini menjadi
pasukan pelangi

ditanah bastari
Kutanam tonggak bakti membangun Peradaban layak
Pada sisi negeri yang tak disentuh kelayakan
Agar kamipun dapat hidup layak
Bukan hanya bercita melayakan

6 April 1986


Adakah Lagi

Adakah lagi ?
ketika lembut berdesah basah berlalu bersama malam
menyelam dalam kelamnya
Cadar persidangan agung !

Adakah lagi ?
kasih sayang dan harapan tersisa menutup senja hayatku
Dalam bentuk segala bentuk menjadi misteri keajaiban mimpi

Dan ketika hakikat desah ini menjadi rahasia
Di atas impian jiwa sebuah suara kesadaran
mendirus menampar sukma manusia

Adakah lagi ?
Pembangkit desah rahasia di-awal kesadaran
yang terhimpit dalam tafakur dasar hati

Waktu pun berlalu Mengantar keperaduan malam
desah basah di atas hakikat impian
Rahasia pengembaraan sepanjang keajaiban mimpi

Pada sebentuk pancar menikam rahasia
saripati berlapis doa Bagai angin dan cahaya melibas kilatan
Menjadi waktu cakrawala usia manusia
Yang mengiris pada tambatan garis nasib
Tapi, tak dapat kugapai dengan rasa
Karena desah ini cuma hembusan
Nafas yang mendirus pada pengembaraan
Dinding-dinding rahasia

Rantau, 19-8-1986


Pengangguran

Cerah pagi di ufuk timur
menguak pintu hari bersama sapa kicau burung
Antara harapan dan impian
Kubenamkan wajah dibayang bulan yang rebah

bantingan kartu domino
Serta gelas-gelas kosong yang berdenting
Meracun malam-malamku

Aku tahu !
Hidup tanpa kerja Laksana Mencuci muka
dibawah bayang matahari

Ingin kubakar lagi sisa amarah
Dan mendewakan nafsu pada kegelapan
yang bersarang disela bulan
Tapi…Bisik tanah huma dan pesan masa lalu
Menyentuh bathin kemanusiaanku

Tak pantas menipu diri
Dalam kata yang disebut
pengangguran

Rantau, April 1985

ZURHIDADUSTIPA

Nama samaran dari Dra. Zuairiah, Guru SMA Negeri 1 Rantau sejak tahun 1993 sampai sekarang ini adalah Alumni Fakultas Keguruan Universitas Lambung Mangkurat Jurusan Bahasa Indonesia. Lahir di Rantau 12 Desember 1959. Rajin menulis puisi dan cerpen namun tidak mau mempublikasikan dan
cenderung hanya sebagai pengungkapan bahasa bathin serta luapan kegelisahan untuk dinikmati sendiri dan bahan belajar bersama anak didiknya di-SMAN 1 Rantau.
Tumpukan puisi dan cerpen-cerpennya yang tak terpublikasi itu menyentuh naluri seorang sahabatnya ( Bram Lesmana ) untuk diapresiasikan dan bergabung di-Sanggar Seni Balahindang Rantau. Pada Tahun 2009 dipercaya sebagai ketua Sanggar Seni Balahindang Rantau Menggantikan ketua lama Rahmiyati S.Pd yang dapat tugas baru di desa Haruyan (HST).
Ibu guru dua putera yang low profil ini beralamat di Jalan MTQ Gang H. Noor Ilmi RT. 5 Rantau.
Kontak Person : 0857 5315 6566


Doa

Bagai embun-embun luruh
Ayat demi ayat…
Beterbangan dibibir bathinku
mendirus dan menghunjam
Terus-menerus menggumpal
Jadi telaga Pengharapan
Dan seiring keluh
Seribu harap
Seribu….
Menderap
Menembus sayap-sayap malaikat
Dipohon-pohon arasy
Terbang menuju tahta-Mu
Melewati tangga-tangga wasilah
Wali-wali-Mu

Puisi Larut Malam

Kurampas rasamu
Di sela asap dan api
Ujung rumput pun tunduk
Ketika khayalku melintas di ujung rindu

Malam semakin larut
Angin dingin menebarkan resah
Yang lepas dari sukma yang lara
Ingin rasanya aku lelap bersama bayangmu
Namun mata enggan menaut redup
Yang hadir cuma dengung nyamuk
Beriring degam desah nafasku
menggilas alur bunyi
Mengejar impian
Mengharap………


Kau adalah Kegelapan

Suara itu pernah kukenal
mengiang ramah bersama Seulas senyum mengambang
Di sela kata dan jeda
saat lahapmu menyantap api cahaya mataku

Suara itu pernah kukenal
Sebelum melepas selimut,
merebahkan lelah tubuh diranjang istirah
dan… dalam mimpi kita bercakap di teras beranda
menanti pulang mutiara
yang ternyata kau curi dalam selimut malamku
terpasung dalam jerat jebakmu
nyatanya
kau adalah kegelapan yang harus diusir
pergilah !
Tak akan ada lagi keakraban bersamamu dalam canda tawa
Kata dan bab yang pernah dirangkai
Kucabut dari punggung jantungku
Tulang belulang meremuk
terjemahkan gerak tubuhku
Lengking luka menguak
Di paru-paru kesedihan melebam
Dan membiru

Disela tangis sesal dan dirus malam
dedaunan berbisik :
“ tabahlah !”


Biarkan air Mata Membulir

Kubiarkan air mataku membulir
Isak derai tak lagi menjadi mampu kubendung
Jarum-jarum gerimis menajam
Di tiap tetesan gerimis rinduku

Biarkan air mataku membulir
Aku tak lagi mampu menghapus gerimis
Mencair, meleleh, meluncur
Mengunyah perih ruang sukmaku
Aku tersudut sakit

Biarkan air mataku membulir
Menghitung sebesar apa salahku padamu
Hingga akhirnya Kau sulutkan bersama helaian kertas
Yang berubah jadi belati menggores dadaku

Biarkan air mataku membulir
Naluri kecilku bertanya
Haruskah kumampu mengembalikan Air mataku?
Atau kubiarkan gerimis menjarum turun
Menangis bersama angin,
lalu menggenang
Mengikis hatiku yang luluh
Agar pecah berhamburan tak berbentuk

Biarkan air mataku membulir
Kukatakan terlalu, sangat terlalu
Hanya itu yang bisa kukatakan
Terus dan terus aku menangis
Haruskah kubingkai kisah ini?

Rantau, 19 Januari 2007
RAHMIYATI

Sarjana ( S.1 ) FKIP Universitas Lambung Mangkurat jurusan Bahasa Indonesia Program Studi pendidikan Bahasa dan seni ini Lahir di Rantau 8 Juni 1983. Mengaku mulai mengenal dan rajin menulis Puisi sejak SLTA membuahkan ratusan puisi dan cerpen serta beberapa cerita rakyat yang tersimpan apik di laptop pribadinya.
Naluri kepenyairannya semakin terasah sejak menjadi mahasiwa dan bergabung dikomunitas Teater Kampus “Ilalang” FKIP Unlam. Keseriusannya pada dunia tulis menulis menghasilkan prestasi diantaranya :
- Juara 1 Nasional Kritik sastra Bidang pendidikan dari Departemen Pendidikan nasional di-Jakarta tahun 2009.
- Sutradara Terbaik Festival Teater Anak se-Kalsel tahun 2008 bersama sanggar seni Balahindang Rantau.
- Juara III penulisan cerita rakyat sekalsel tahun 2007.
- 10 penulis puisi terbaik Aruh Sastra 2006 di-Kotabaru
- Antologi bersama Penyair Kalsel 2006 “Kau tidak akan pernah Tahu rahasia sedih tak bersebab ”
- Antologi bersama Penyair se-kalsel Aruh sastra 2008 di Balangan “ Tarian cahaya dibumi Sanggam”
Bertugas sebagai Guru di SMAN 1 Haruyan (HST) dan beralamat di : Desa Pematang Karangan Hulu RT.2 No.17 Kecamatan Tapin Tengah Kab. Tapin
Kontak person : 0813 49612124.


Puisi yang Pernah Kutulis

Hari ini aku menulis puisi yang pernah kutulis
puisi tentang malam dan hujan yang dulu selalu
kukirim untukmu

tapi kali ini kau tak beranjak memenuhi seruan malam
tak jua mendekat ke cahaya terang
dan aku melihatmu telah di seberang jalan itu
tak lagi berusaha menembus hujan
seperti sediakala
saat itu juga aku hanya menggigil menanti semai
ketika hujan itu reda. Aku menanti cahaya
tapi, lagi-lagi kau hanya diam dan aku
seperti melempar derai ke tengah badai

mungkin jejak telah sepucat bulan di bibir pagi
kau-aku dalam ketidakbermaknaan
meski sungguh, aku tak ingin reda tapi juga
inginkan cahaya
aku takkan mendekat
tapi tak juga kemana-mana

Rantau, 14 April 08


Dahan Kita yang Lapuk dan Hujan Itu

mungkin perlahan saja kaki itu beranjak
meninggalkan dahan kita yang lapuk oleh waktu
yang selalu bertentangan
tak seperti saat kaki-kaki kita dulu berjajar
tak terlalu bergegas memang, dan aku hanya
tersenyum datar, tertunduk pahit
memaknai itu

saat itu,
serasa berteduh di bawah gerimis
yang mengantarkan senja menjadi malam
dingin seperti hujan musim ini
sementara ingatan itu selalu datang
ketika aku selalu mamaknai hujan yang
kadang deras kadang selintas
sampai senja menjemputnya lagi

benar, dahan kita yang lapuk itu tetap sama
dan aku masih tersenyum datar
berdiri di situ

Rantau, 11. 11. 06


Puisi dan Ibuku

Kadang lukamu tak sesederhana senyummu hari ini
Meski tak selalu kuketahui
Tentang kasih paling teduh layaknya gerimis
dan selalu untukku
Meski tak selalu kuketahui

Mungkin puisi mampu mengeja sepi menjadi sederhana
Tapi, tetap saja kau penyembuh luka paling jujur
dan selalu untukku
Meski tak selalu kuketahui

Rantau, 2. 10. 06


Apa yang Masih Tersisa Dari Rindu Yang Lelah?

Aku seperti senja yang beranjak temaram
sungguh, aku seperti lagu-lagu cinta yang patah
apa yang masih tersisa dari rindu yang lelah?
rindu pada tanah yang silam
adalah mimpi buruk yang selalu menyudutkanku
di tempat yang sama
mungkin yang tersisa kelak hanya sisa
seperti ketika manusia masih bisa tertawa
saat hujan mulai retak
saat hutan-hutan terluka
maka saat itu pula dingin yang teduh enggan berbagi
hanya riak-riak jelata yang meminta tolong
tapi pada siapa dan untuk apa
sungguh, yang tersisa mungkin hanya sisa.
hutan dan hujan ?
Entahlah.

Rantau, 9 Juli 2006

MASKUNI MAHARAWI

Nama samaran dari H.M. MASKUNI S. Sos. M.AP, Ketua Umum Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Cab Tapin ini lahir di Lokpaikat, 9 Juni 1957. karya kepenyairannya sering terbit dirubrik Dahaga Banjarmasin Post pada tahun 80 an dengan dua nama samaran yaitu, Maskuni Maharawi atau kadang M. Asfady Rah.
Belajar sastra pada sastrawan Tapin Maman S. Tawie yang notabene adalah Paman sendiri dan mengelola pondok sastra Talaga mandung Lokpaikat.
Selain menulis Puisi, cerpen dan Pantun berkait bahasa banjar, seniman yang banyak memotivasi seniman tradisi untuk terus eksis mengusung seni asli khas Tapin ini, juga rajin menulis cerita “Palui” dimasa hidup almarhum H. Yustan Azidin untuk konsumsi pembaca harian Banjarmasin Post. 10 tahun terakhir adalah masa vakum beliau dari dunia tulis menulis karena kesibukan sebagai seorang birokrat di Kab. Tapin. Pernah menjadi Kepala UPTD Dinas Pasar, Camat Lokpaikat, Kabag Pemerintahan Pemda Tapin dan terakhir Sekretaris Dinas Pertambangan Dan Energi Kab. Tapin. Dimasyarakat beliau juga dipercaya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) cabang Tapin dan ketua Majelis Ta’lim Al-Hidayah Rantau. Juara I Penulisan Pantun berkait bahasa Banjar se-kalsel tahun 1984 ini beralamat di Jl. Brigjend Hasan Basry Km. 8 Lokpaikat.
Contak Person : 0813 1962 9184

Petualang Tanah Kering (1)

Di bukit itu,
jejakmu melintang meniti sisa waktu yang tak pernah ramah
dengan sisa nafas dan dengus putus-putus
Kau genggam pucuk rimba dalam dua kepalan kokoh membesi
hingga hilangkan keperawanan hutan dikakimu

Elang hitam menjerit di buih keringat
Malu menyaksikan tajam kepakmu mengayuh nasib
saat kau telan dalam satu telunjuk harum tanah berbatu
berulang hingga berjuta kali disaksikan mentari dengan matanya
yang lemas karena takluk oleh semangat sang petualang

Pada segenap malam yang lelah
kau cari musim di sela bintang-bintang
Lalu kau tanya pada peredarannya
Dimanakah kejayaan yang hilang ?
Dulu, seribu tahun yang lalu
Antara badai dan terompet kematian
Di tanah kering itulah kau tancapkan suratan

Lokpaikat, Des 1997


Petualang Tanah Kering (2)

Dimatamu,
taburan aneka bunga dijemari dara yang setiap pagi
menyanyikan lagu cinta mematahkan sayap kupu-kupu
Dan pohon-pohon renta Mengocok hatimu yang terbelenggu
Dalam kebencian sungai darah

Kau katakan pada pucuk-pucuk angin
“ aku masih berdiri, kalian saksikan muka dan mataku menyala Mengalahkan seribu malam angan sang pemimpi “

Ber-letikan hajad di tetes hujan
Di teratak-teratak tanah kering
Kau tumbuhkan embun, mengejutkan burung di sarangnya
Menghentikan nyanyian di atas genderang perang
tak perduli Kekalahan dan kemenangan
tersurat di daun talam yang berlari

Dalam sanubari kau pandang rumahmu tegak berabad-abad
Di sela nafas anakmu kau raih biji-biji tanah
meneruskan perjalanan
Sampai batas pandangmu
di-jejak Petualang Tanah kering


Lokpaikat, Des 1997


Dalam Nyala Ada Bulan

Menggelegak guruh berletupan
Ketika orang lupa dan berdusta
Kota itu luka bersama camarnya
Pekat menutupi wajah-wajah
Membawa berlari senyum dan tangis.

Dalam nyala bulan berkejaran
Berpijar merah mengerikan
Tak ada mata memandang lembut
Tak ada kata melontarkan sajak
Semua lupa dalam nyala akhir perjalanan,
Nyala itu bersembunyi di balik ufuk

Ada yang mencaci dirinya
Terpaku menatap gosong
Di sobekan koran hari itu.

Batang kulur, Des 1997


Gelatik Bersiul

Gelatik bersiul di ujung ranting
Siulan merdu, untuk anakku
Siulan merdu, untuk suamiku
Mega mendung , senyap temaram

Lemas sayapku, remuk redam badanku
Pucuk daun memerah bata tergores titisan air mata

Mahligaiku nasibmu nian
Kupandang di sela ranting luluh menjadi abu
Asa, asa hidupku
Lelah jiwa ragaku

Semilir angin membawa laguku
Bergema segenap penjuru
Wahai lihatlah tupai itu
terisak, bergetar tubuhnya

Lokpaikat, 25 Nopember 1997


Berawal dari Titik

Perjalanan seperti angin
Berawal dari titik
Titik ditelan goresan
Goresan sombong, mencipta bentuk
Penuhi ruangan dan semakin pengap
Ternyata,
Tidak mampu menahan kokoh tinju taqdir.

Lokpaikat, 25 Nopember 1997

RISLAM MAHARANI

Lahir di Binuang, 12 September 1973. Sejak sekolah di-MTs Negeri Binuang ditahun 1987 - 1989 sudah mulai menulis puisi dan beberapa cerpen. Ketika melanjutkan ke Madrasah Aliyah negeri (MAN) 1 Rantau, bakat menulisnya semakin berkembang dan sering mengirim karya puisinya diacara Untaian Mutiara seputar Ilmu dan seni RRI Nusantara III Banjarmasin.
Setamat dari MAN 1 Rantau ditahun 1992 dia hijrah ke Banjarmasin untuk meneruskan studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Bergabung dengan komunitas intelektual dan seniman kampus membuatnya semakin matang dalam menulis bait-bait puisi dan cerita pendek. Karyanya sering hadir di SKH Banjarmasin post dan Radar Banjar.
Setamat kuliah di IAIN Antasari dia kembali mengabdi di tanah kelahirannya, Kota emas hitam Binuang dan ber-alamat di Jln. SMA Negeri 1 Binuang No. 300 Karangan Putih, Binuang Kabupaten Tapin


Surat Buat Sebuah Sisi Negeri

Kutulis surat ini
kala percik api jatuh diwajah tanahku yang luhur
kala laut tak lagi mampu meredam gelombang
pelukan dendam dan ambisi antara kita
mengetat

Di negeri ini peluh mulai gerah ditampar serapah
Darah mengapung sebagai persembahan kekerasan
Dan tangan tak lagi mampu menahan sebatang tiang
tegaknya rambu hukum titipan leluhur

Kutulis surat ini
setelah penyaksian yang menggidikkan bulu roma
ketika pagar ayu yang tercerabut topeng cinta !
ketika sungai dan hutan menjadi kubur satwa !
Ketika selembar jiwa dibayar candu
dan orang-orang mulai membuat silsilah sendiri……
Astagfirullah

Dimana pijar cinta dapat dibaringkan
Jika nurani terus dibubut kejumawaan
Dimana benih subur disemaikan
Jika sungai dan hutan Melayati jiwa-jiwa terbunuh
Dimana negeri elok menerbitkan dirus cinta
Jika kesabaran lambat laun tertindih mati

Binuang, Februari 2002


Disetiap Mengetuk Pintu Itu

Disetiap Mengetuk Pintu Itu
terasa KAU berdiri membukanya
wajah-MU diam-diam menambat
memecah gemuruh bebatuan kecilku jadi laut
yang memendam haru setiap kuhirup
udara nadi Asma-MU
segala lapang menyusup dirongga-rongga
ketika kulentikkan jemari mengetuk Pintu-MU
pada sebingkai doa
udarapun ikut memutih menyusur darah
memecah bebatuan kecilku
menjadi laut yang menghangat

Begitulah gemuruh bebatuan kecil ini
Senantiasa pecah jadi laut
yang menggelorakan rindu
Mencari muara buat bersua
Merambah pesona, memupuk tanah lautku

Disetiap mengetuk pintu itu
Begitu sempurna Engkau menyambut

Binuang, April 2001


Pertemuan Kita

Tanah rantau ini menunaikan pertemuan kita
segala wujud adalah sekumpulan nikmat
penawar hayat atas rahman dan rahim-Nya

Kita telah menyisilnya sejak tangisan pertama
melebur dalam ketinggian martabat
segala cinta mengalir dalam tetes embun jatuh
sejumlah cinta bersemi mengurai benih
dan ukhuwahpun memanjang di kaki langit,
ladang tempat kita melihara huma
jadi matang di batang pengalaman
dalam pertemuan kecil ini

Namun, kita harus mewaspadai
saat pertemuan yang dirayapi kecemburuan
karena Kedhaifan akan melesat menuju arena
ladang persabungan membuka segala dakwaan
dan kau yang terpilih dalam pertemuan kecil ini
menjadi indah di wajah bulan
atau menjadi bopeng disekap malam

Binuang, Januari 1999


Ode Musim Cinta

Seberapa lama lagi akan diam di situ
menunggu ruang waktu yang ber-estapet
dengan prosa yang tak pernah
mencapai klimaksnya

Sepanjang musim kemerah kuningan
hari memburu rasa menyilang cemas
denyut jantung menatap sepotong impian
jatuh pucat di wajah bulan

Langkah berderak-derak menyimpulkan sisa letih
dari keraguan
mungkin inilah saat-saat perih itu ;
begitu sulit memberi arti pada cinta
dalam kejujuran dan kepastian

Kitapun saling terpana
meneruskan prosa yang belum selesai
di sebuah siklus yang belum terbaca

Binuang 2001